Kiai Ma’shum bin Ali seblak jombang


KH Maksum Ali Seblak Jombang yang merupakan menantu dari pendiri NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asyari yang juga pendiri Pesantren Tebuireng Jombang. Nama lengkap KH Ma’shum adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Jabbar al-Maskumambani. Beliau lahir di Maskumambang, Gresik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek. Setelah belajar kepada sang ayah, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng. Ia termasuk salah satu santri generasi awal Hadratussyekh. Pada masa itu, selain dituntut untuk belajar, para santri juga diharuskan ikut berjuang melawan penjajah. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas inisiatif Hadratussyekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo Cukir.


Bertahun-tahun lamanya pemuda Ma’shum mengabdi di Tebuireng. Kemampuannya dalam segala bidang ilmu, terutama bidang falak, hisab, sharaf, dan nahwu, diantara Salah satu kitab yang beliau karang dan beliau susun dikenal dengan nama “Tashrifan” yang banyak diajarkan di madrasah serta pondok pesantren, dan amat masyhur di Nusantara, bahkan di manca negara, karya besar ulama asal Jombang. Yang diberi nama “Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah” di bidang ilmu sharaf merupakan karya KH M Ma’shum bin Ali asal Pesantren Seblak Diwek Jombang. Susunan bait-baitnya sangat sistematis, sehingga mudah difahami dan dihafal bagi para pelajar dan santri. Hampir di seluruh lembaga pendidikan madrasah yang ada di Indonesia bahkan beberapa negara Islam, kitab ini menjadi salah satu bidang studi yang tetap dikaji. Saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”.


Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti, ternyata sistematikanya memuat makna filosofi yang sangat tinggi. Kitab ini bukan saja mempunyai sistematika penulisan yang unik, akan tetapi memiliki filososfi pengajaran perilaku kehidupan. Salah satu contoh bisa dilihat, pada fi’il tsulasi mujarrad misalnya, dalam enam kalimat yang disebut ternyata mengandung filososfi kehidupan.

Sistematika penulisan yang unik, dan memiliki filososfi bahwa 

“Pada awalnya sang santri yang menuntut ilmu ditolong oleh orang tuanya (نَصَرَ – nashara), sesampainya di pondok pesantren ia dipukul dan dididik (ضَرَبَ -dlaraba). Kemudian setelah tersakiti dari dipukul, maka hatinya akan terbuka (فَتَحَ – fataha). Seterusnya barulah ia akan menjadi orang yang mengetahui/pintar (عَلِمَ – ‘alima) dan seterusnya menuntut ia agar berbuat baik (حَسُنَ -hasuna). Maka ia berharap masuk surga di sisi Allah swt (حَسِبَ – hasiba).

Dan terdapat juga dari sistematis susunan keenam kalimat di atas dirangkumi menjadi sebuah nazham yaitu: 

فَتْحُ ضَمٍّ فَتْحُ كَسْرٍ فَتْحَتَانِ * كَسْرُ فَتْحٍ ضَمُّ ضَمٍّ كَسْرَتَانِ

Kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah terdiri dari 60 halaman. Untuk mendapatkannya tidak akan kesulitan karena di hampir semua toko kitab apalagi di lingkungan pesantren banyak dijual  


Diantara karya karya beliau

Setidaknya ada empat kitab karya beliau;

Pertama adalah al-Amtsilah at-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”.

Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH Saifuddin Zuhri.


Kedua yakni Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Kitab ini diterbitkan Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1920-an, ketika Kiai Ma’shum masih hidup. Jumlah halamannya lumayan tipis tapi lengkap. Kitab ini juga tidak sulit ditemukan di pasaran.


Ketiga Ad-Durus al-Falakiyah adalah karya beliau. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak rumit, tetapi bagi yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari, dan sebagainya. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz. Setiap juz terdiri satu jilid dengan jumlah 109 halaman.


Kitab keempat adalah Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya demikian banyak, berjalan mengelilingi bumi.

Karena kecerdasannya dalam berbagai bidang ilmu semasa di Pondok Tebuireng, Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asyari menjadikan KH. Ma’shum Ali generasi penerus dengan menikahkan dengan putri keduanya yaitu Khairiyah.


Pernikahan KH. Ma’shum Ali dengan Nyai Khairiyah Hasyim, dikaruniai sembilan anak. Putra-putri beliau diantaranya, Hamnah, Abdul Jabbar, Abidah, Ali, Djamilah, Mahmud, Karimah, Abdul Aziz, Azizah. Namun takdir menentukan lain, yang hidup sampai dewasa hanya dua orang yaitu Abidah dan Djamilah. Sementara ketujuh saudaranya meninggal dunia disaat kecil, alhasil kedua putri beliau berperan penting dalam meneruskan Pondok Pesantren Seblak.


Kehidupan keseharian beliau kyai maksum ali mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada sang mertua sekaligus maha gurunya yakni Hadratussyekh, beliau sering menghadiahkan kitab. Sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, beliau tidak lupa membawakan kitab al-Jawahir al-Lawami’ sebagai hadiah. Bahkan kitab as-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratussyekh ketika mengarang kitab.


Almarhumah Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan bahwa suatu ketika Kiai Ma’shum pernah berdebat dengan Hadratussyekh tentang dua persoalan. Pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Ma’shum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratussyekh berpandangan sebaliknya. Persoalan kedua adalah permulaan bulan puasa. Kiai Ma’shum telah menentukannya dengan hisab(perhitungan astronomis), sedangkan Hadratussyekh memilih dengan teori ru’yat (observasi bulan sabit). Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Ma’sum di Seblak lebih dahulu berpuasa daripada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng. Walaupun kedua ulama ini sering berbeda pendapat, namun hubungan tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar. Menjadi tokoh yang produktif adalah ciri orang islam yang pekerja keras, ia berfikir lalu mengapresiasikan dalam bentuk tindakan. Sebenarnya ini sindiran keras bagi umat muslim yang lemah dan malas. Kemalasan akan mendatangkan musibah. Islam menghendaki ummatnya kuat, Terutama soal ilmu pengetahuan. Kekuatan adalah awal kebangkitan. Dan dengan ilmu pengetahuan kita dapat menumpas kejahililan.

KH. Ma’shum Ali wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru, tanggal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933. Beliau wafat pada usia 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan ”musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng, karena beliaulah satu-satunya ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah hadratus syeikh. Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman Pesantren Tebuireng Cukir Jombang.


Hingga kini, belum ada seorang ulama pun yang mampu menggantikannya. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah SWT dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummagfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi. Amin.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama