Bulan desember merupakan salah satu bulan yang penuh duka bagi warga NU. Di bulan terakhir ini, ada tiga Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan satu Ketua Umum PBNU yang wafat, yaitu KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Ali Maksum, KH Ilyas Ruhiat, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur )


1. KH Abdul Wahab Chasbullah Sosoknya merupakan salah satu pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama. Ia menerima amanah sebagai Rais Aam PBNU sepeninggal gurunya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947. Abdul Wahab Hasbullah Iahir di Tambakberas, Jombang, pada 1888, putra Kiai Said dan Nyai Fatimah. Masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan di lingkungan pesantren.
KH Abdul Wahab Hasbullah sejak dini sudah banyak menerima ilmu agama dan moral dari sang Ayah. Ketika dirinya berusia 13 tahun, KH Abdul Wahab Hasbullah mulai merantau untuk memperdalam ilmunya dari satu pesantren ke pesantren lainnya.

Gerakan Pemuda Ansor
Gerakan Pemuda Ansor atau GP Ansor dibentuk oleh Nahdatul Ulama.Gerakan ini berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di Nahdlatul Wathan.
Nahdlatul Wathan adalah organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader.
Dua tahun setelah perecahan tersebut, pada 1924 para pemuda mendukung KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya GP Ansor.
KH. Abdul Wahab Chasbulloh Wafat
KH A. Wahab Hasbullah wafat pada 29 Desember 1971, empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, dan dimakamkan di Kompleks Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.

2. KH. Ali Maksum Dilahirkan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, 2 Maret 1915. Ayahnya adalah KH Maksum (pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayah, Lasem) dan ibunya adalah Siti Nuriyah. Sejak kecil, Ali belajar agama pada sang ayah. Pada usia 12 tahun, setelah mempelajari beragam kitab termasuk menghafalkan Alfiyah Ibnu Malik, ia dikirim sang ayah untuk belajar di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, yang waktu itu diasuh oleh KH Dirnyati dan dilanjutkan KH Hamid Dimyati.  Di Pesantren Tremas, meskipun bukan termasuk keluarga pesantren, Ali diperlakukan sebagai seorang Gus, hingga pada akhirnya ia pada 1932 bersama Gus Hamid Dimyati dapat meyakinkan KH Dimyati dan seluruh keluarga pesantren Tremas untuk menerapkan pengajaran dengan sistem madrasi (klasikal) serta memperkenalkan kitab-kitab baru. Harihari berikutnya muncul empat pembaru di Pesantren Tremas, yakni Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati, Gus Muhammad bin Syaikh Mahfud (putra Syaikh Mahfud at-Tarmasi), dan Gus Ali Maksum. Atas kepeloporan tersebut, salah seorang murid Ali Maksum, Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Menteri Agama RI (19731978), mengatakan bahwa Ali Maksum merupakan pembaru pesantren karena memperjuangkan adanya kegiatan belajar yang bersifat madrasi dan memperkenalkan kitab-kitab baru yang sebelumnya tidak pernah diajarkan.  Dari Tremas, Ali melanjutkan studi di Pekalongan, Jawa Tengah. la berguru kepada KH Den Rahmat, KH Amir, dan KH Dahlan (adik kandung Syaikh Machfud atTarmasi). Ia juga berguru ilmu falak kepada KH Sya'ban al-Falaki di Semarang.  Kiai Ali Maksum memulai karier sebagai aktivis NU di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ia pernah beberapa kali menduduki jabatan Rais Syuriyah PWNU DIY hingga mencapai puncak ketika terpilih sebagai Rais 'Am PBNU (19821984) Pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta, Rais 'Am PBNU menggantikan kedudukan KH Bisyri Syansuri yang wafat pada 19 Jumadil Akhir 1400 H/25 April 1980 M. Dikukuhkan sebagai Rais “Am untuk Periode 1982-1984 melalui Munas Alim Ulama (1982) di Yogyakarta.Pada akhir 1989, atau beberapa minggu setelah menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-27 di Krapyak, KH Ali Maksum wafat. Ia meninggalkan seorang istri (Ny. Hasyimah Ali) dan enam orang anak, yakni: KH Atabik Ali, KH Jirjis Ali, Hj Siti Hanifah, Hj Durrah Nafisah, H. Rifai Ali (Gus Kelik), dan Hj Ida Rufaida. 3. KH. Moch Ilyas Ruhiyat Beliau lahir pada hari Ahad, 12 Rabi’ul Awwal 1353 H, bertepatan dengan 31 Januari 1934, dari pasangan KH Ruhiat dan Nyai Aisyah. Namanya sebagai tafaul kepada tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, yakni KH Mochammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode. KH. M Ilyas sekolah di HIS Pasundan Banjar. Saat ia menginjak tahun ketiga di HIS, tahun 1943, ia segera diambil ayahnya pulang ke Cipasung. Ayahnya tidak setuju adanya keharusan saekeirei, yang diwajibkan tentara Jepang kepada semua orang, termasuk siswa sekolah. Ayahnya juga khawatir Ilyas tidak mendapat pendidikan agama yang cukup Saat di Banjar, KH. Moch Ilyas memang tidak sempat belajar mengaji. Beliau berada dalam pengasuhan ayahnya Sekalipun hanya mengaji pada ayahnya di Cipasung, ilmu yang diperoleh llyas memiliki sanad atau mata rantai yang menyambungkannya dengan ulama besar yang menjadi guru bagi tokoh-tokoh pesantren di Indonesia, yakni Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Silsilah keilmuan llyas Ruhiat selengkapnya ialah: llyas Ruhiat -> KH Ruhiat bin Abdul Ghofur . -> KH Syabandi bin Hasan Cilenga + KH Toha bin Hasan Bisyri Cintawana -> Syaikh Mahfudz bin Abdullah at-Tarmasi -> Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Makki + Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad aI-Madani -> Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan + Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani -> Syaikh Utsman bin Hasan Dimyathi + Syaikh Ibrahim al-Baijuri -> Syaikh Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi -> Syaikh Syamsun Muhammad bin Salim al-Hifni -> Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Budairi -> Syaikh Ali bin Ali asy-Syibromalisi -> Syaikh Ali al-Halabi -> Syaikh Nur az-Ziyadi -> Sayyid Yusuf al-Armayuni. Memasuki tahun 1954, llyas mulai diIibatkan dalam kegiatan Nahdlatul Ulama. Oleh ayahnya yang menjabat Rais Syuriyah Partai NU, la dianjurkan untuk aktif dalam organisasi yang baru dlbentuk untuk para pelajar, yaitu lkatan PeIajat Nahdlatul Ulama (IPNU). Tahun itu, ia merintis pendirian IPNU Cabang Tasikmalaya dan menjadi ketua nya yang pertama. Berawal dari IPNU, kariernya di NU terus menanjak hingga ia terpilih sebagai Pemangku Jabatan Rais ‘Am (1992-1994) menggantikan KH Achmad Siddiq melalui Munas Lampung 1992, dan menjabat sebagai Rais ‘Am PBNU (1994-1999) melalui Muktamar Cipasung. Pada masa kepemimpinannya inilah KH. Abdurrahman wahid ( Gus Dur ) terpilih sebagai Presiden RI ke-4. Beliau KH. Mohammad Ilyas Ruhiyat, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meninggal dunia, hari Selasa (18/12/2007) sekitar pukul 16.15 di kediamannya, Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. “Ajengan Cipasung” yang memimpin PBNU bersama KH Abdurrahman Wahid itu meninggal dalam usia 73 tahun, menyusul istri tercinta Hj Dedeh Fuadah yang telah berpulang ke rahmatullah 4. KH. Abdurrahman wahid ( Gus Dur ) Lahir di Jombang, 24 September 1940, dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil. Sebagai putra pertama KH A. Wahid Hasyim, dan cucu Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari, garis keturunannya sangat sempurna menggambarkan telacak perjuangan keislaman dan keindonesiaan. Masa menjelang dan setelah kelahiran Gus Dur adalah tahun-tahun menentukan dalam sejarah bangsa Indonesia. Senjakala kekuasaan kolonial Belanda ditandai dengan merebaknya tuntutan untuk kemerdekaan. Kakek Gus Dur telah memulai Iangkah penting dengan mendirikan NU pada 1926, yang tidak saja memperjuangkan berlakunya paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masyarakat, tetapi sekaligus memainkan peranan politik penting, seperti tuntutan otonomi dalam memajukan pendidikan dan praktik Islam, maupun gagasan kemerdekaan. Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir. Dari perkawinannya dengan Hj. Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang. (Dari Berbagai Sumber) Gus Dur telah menyedot perhatian bangsa Indonesia selama hampir empat dasawarsa, tentu dengan pendapat pro dan kontra atas apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Namun, karena ketulusan dan kejujurannya itu ia dihormati KH. Abdurrahman Wahid wafat dalam usianya yang ke 69 pada tanggal 30 Desember 2009 pukul 18.40 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Gur Dur dimakamkan berdampingan dengan makam Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari kakeknya dan KH. Wahid Hasyim ayahnya, di pemakaman keluarga Tebuireng, Jombang. Peziarah yang hadir setiap waktu tanpa henti hingga kini menandakan rakyat kehilangan sekaligus rindu pada pemimpin yang tulus, jujur, dan sederhana.
Dari berbagai sumber

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama