KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ke-7, setelah KH M. llyas Ruhyat. Kiai Sahal sangat kuat dan konsisten mempertahankan khittah Nahdlatul Ulama di tengah berbagai tarikan politik.Lahir di Kajen, Pati, Jawa Tengah pada 17 Desember 1937, putra ketiga dari KH Mahfudh bin Abdul Salam. Garis keturunan Kiai Sahal tersambung dengan Syekh Ahmad Mutamakkin, Sahal lahir dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abd. Salam (w. 1944 M) dan Hj. Badi'ah (w. 1945 M) yang sedari lahir hidup di pesantren, dibesarkan dalam lingkungan pesantren, beiajar hingga ladang pengabdiannya pun di pesantren. Kiai Sahal menikah dengan Dra. Hj. Nafisah binti K.H. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras, Jombang.Memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) dan Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di Iingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri dan selanjutnya pada 1957-1960 belajar di Pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kiai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani.Kiprah Kiai Sahal dalam NU dimulai dari bawah sebagai Kordinator Ma'arif NU Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada akhir 1960-an. Lalu sebagai Katib Syuriyah PCNU Pati pada periode 1967-1975, sekaligus sebagai Ketua LP Ma'arif PCNU Kabupaten Pati, Ialu Wakil Rois Syuriyah PCNU Kabupaten Pati (1975-1980), dan menjadi Katib Syuriyah PWNU Jawa Tengah (1980-1982) dan sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah (1982-1985). Kiai Sahal menggantikan posisi K.H. Ahmad Abdul Hamid Kendal.Masa awal 1980-an adalah masa-masa krusial bagi NU, setelah sekian lama bergulat dalam dinamika perpolitikan di bawah rezim Orde Baru, arus besar warga NU menginginkan NU kembali ke Khittah 1926. Pada saat itu, di tubuh NU sendiri mengalami dinamika luar biasa, apalagi setelah wafatnya Rais ‘Am PBNU K.H. Bisri Syansuri. Di kalangan kaum muda, gerbong kembali ke khittah menjadi kenyataan. Di antara tokohnya adalah K.H. Abdurrahman Wahid, dr. Fahmi Saifuddin, K.H. A. Musthofa Bisri, dan Kiai Sahal Mahfudh. Pada Muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926, NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan, bukan partai politik dan tidak berafiliasi pada partai politik tertentu. Masalah politik diserahkan kepada warga NU sendiri untuk menentukan pilihan politiknya. Di bawah kepemimpinan Rais ‘Am K.H. Achmad Siddiq, dan Ketua Umum K.H. Abdurrahman Wahid, gerbong NU dibawa ke arah organisasi masyarakat sipil yang kekuatannya jauh melebihi kekuatan partai politik. Program NU lebih terarah untuk memberdayakan warga NU dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi dan tentu saja penguatan basis keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah yang dirumuskan dalam Mabadi’ Khaira Ummah.Pada masa awal NU menapak Khittah 1926, Kiai Sahal ditunjuk menjadi salah satu Rais Syuriyah PBNU, sementara jabatannya Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah diserahkan kepada K.H. Maemun Zubair. Kiai Sahal juga banyak berkiprah di lingkaran aktivis LSM di Jakarta. Di samping sebagai Rois Syuriyah PBNU, Kiai Sahal juga terlibat dalam program pemberdayaan pesantren dan masyarakat melalui LP3ES dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Program yang diusung tak hanya berkaitan dengan isu penguatan ekonomi atau Iingkungan hidup, tetapi juga isu demokratisasi dan hak asasi manusia. Dengan program itu, pesantren sudah mulai ”melek" politik yang lebih luas di zaman ketika "politik" semacam diharamkan oleh Orde Baru.Memang tak dipungkiri, Gus Dur-lah yang mengawal dan menjadi penyuara NU sebagai kekuatan masyarakat sipil. Gus Dur melakukan manuver-manuver politik yang canggih di hadapan kekuasaan otoriter Orde Baru. Tak jarang manuver itu bisa sangat "membahayakan" warga NU, dan dampaknya justru membuat NU menjadi "musuh" rezim Orde Baru. Kiai Sahal yang hidup di daerah sangat merasakan itu. Pada suatu hari, di pondok Kiai Sahal diadakan halaqah mengenai "fiqih tanah". Yang hadir tak hanya para kiai, dan kalangan intelektual kampus, tetapi beberapa orang berbadan kekar berambut cepak ikut menjadi "peserta". Tak pelak, acara menjadi tidak nyaman. Maka oleh Kiai Sahal acara dinyatakan selesai, dan orang-orang berambut cepak pun pulang. Setelah itu, acara halaqah dimuiai lagi. lni salah satu cara Kiai Sahal untuk menyiasati dinamika dalam NU supaya tak berbenturan keras dengan negara. ltu pula salah satu alasan Kiai Sahal bersedia menjadi Ketua MUI Jawa Tengah, kemudian MUI Pusat. Betapa pun, MUI merupakan organisasi yang tidak dicurigai oleh penguasa. Dalam MUI ini Kiai Sahal menjadi "penengah" antara umat Islam dan negara Orde Baru.Ketegangan antara NU dan Orde Baru sangat terasa dalam Muktamar NU di Cipasung 1994. Meskipun Presiden Suharto saat itu datang membuka Muktamar, tetapi Ketua Umum PBNU K.H. Abdurrahman Wahid duduk di barisan belakang, jauh dari tempat duduk VIP. Gus Dur menengarai adanya operasi "Naga Hijau" yang akan menggusur kedudukannya sebagai ketua umum NU. Memang bau ”naga hijau" terasa menyengat. Beberapa peserta muktamar dikawal langsung oleh aparat dari daerahnya masing-masing dengan tujuan supaya dalam pemilihan ketua nanti tidak lagi memilih Gus Dur. Nama Abu Hasan muncul sebagai rival kuat. Tetapi akhirnya Gus Dur tetap memimpin NU meski kemudian dibuat kisruh dengan adanya "NU tandingan" buatan Abu Hasan. Pada saat itu, Kiai Sahal menempati posisi orang kedua di jajaran Syuriyah PBNU di samping Kiai llyas Ruhiyat.Pada periode inilah Reformasi sedang bergulir. Presiden Suharto menyatakan berhenti sebagai Presiden. Politik nasional mendidih. Masyarakat sipil bersiap menyongsong era keterbukaan politik. Partai politik tumbuh menjamur, tak terkecuali di kalangan Nahdliyin. Maka atas desakan warga NU, PBNU memfasilitasi kelahiran partai politik baru, bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dideklarasikan oleh K.H. Munasir Ali, K.H. llyas Ruchiyat, K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Musthofa Bisri dan K.H. A. Muchit Muzadi. Namun, tak ada nama Kiai Sahal dalam deretan deklarator PKB itu. Bagi Kiai Sahal, era reformasi ini bakal menjadi “pertaruhan" NU: NU akan tetap konsisten dengan Khittah 1926 atau kembali lagi terlibat hingar bingar politik.Kekhawatiran itu tak seluruhnya meleset. Apalagi setelah K.H. Abdurrahman Wahid yang saat itu masih menjabat Ketua Umum PBNU diangkat menjadi Presiden RI. Eforia kalangan NU sangat terasa. Politik kembali diagungkan sebagai alat ampuh untuk memperoleh apa saja dan menyelesaikan masalah apa saja. Menanggapi itu semua sikap Kiai Sahal tampak ”dingin" saja. la tak terpengaruh ingar-bingar eforia politik kalangan Nahdliyin. Pada Muktamar NU di Lirboyo, Ketua Umum PBNU Gus Dur hadir memberi sambutan sebagai Presiden RI. Kiai Sahal-lah yang membacakan Laporan Pertanggungjawaban PBNU di hadapan Muktamirin. Pada sesi pemilihan, Kiai Sahal dipilih menjadi Rais ‘Am PBNU, dan K.H. Hasyim Muzadi menjadi Ketua Umum PBNU.Sebagai Rais ‘Am, pekerjaan rumah tentu sangat besar. Di satu sisi Kiai Sahal harus membenahi lagi garis utama kembali ke Khittah 1926 di tengah arus eforia politik yang sangat deras itu. Apalagi tak lama setelah Muktamar Lirboyo, muncul gejolak di kalangan NU akibat pelengseran Gus Dur dari jabatan Presiden. Di bawah kepemimpinan Kiai Sahal, PBNU tak mencoba melibatkan diri dalam hiruk-pikuk politik itu. Di sebagian kalangan, PBNU bahkan dianggap tidak melakukan upaya apa pun dalam rangka "menyelamatkan" Gus Dur. Memang ini posisi dilematik. Namun, Kiai Sahal pada posisi membela Khittah NU dan keutuhan warga NU dari pada melibatkan NU dalam situasi yang tak menentu.Sikap ini nyata ditunjukkan ketika K.H. Hasyim Muzadi di tengah jabatannya sebagai ketua umum mencalonkan diri dalam bursa wakil presiden. Rais ‘Am PBNU membuat garis tegas, dengan mengeluarkan qarar (ketetapan) yang diputuskan oleh para sesepuh NU di Rembang, bahwa posisi ketua umum tidak boleh dirangkap oleh orang yang mencalonkan diri dalam jabatan politik. Oleh karena itu, K.H. Hasyim pun dinonaktifkan, dan melarang seluruh perangkat organisasi digunakan untuk kepentingan tim sukses. Sementara jabatan K.H. Hasyim diserahkan sementara kepada Pelaksana Tugas Ketua Umum PBNU yaitu K.H. Masdar Farid Mas'udi. Qarar tersebut dibuat karena ada gelagat K.H. Hasyim tidak mau mengundurkan diri dari Ketua Umum PBNU meski yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai kandidat wakil presiden. Ini berbeda dengan K.H. Shalahudin Wahid yang mundur dari jabatan Ketua PBNU ketika yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.Upaya menyelamatkan NU dari tarikan poiitik cukup berhasil dilakukan Kiai Sahal, setidaknya Kiai Sahal telah meletakkan kembali garis yang tegas mengenai rangkap jabatan di Iingkungan NU. ”Memaksa" seseorang untuk mengundurkan diri dari jabatannya di kepemimpinan NU bukanlah hal mudah. Apalagi yang bersangkutan di posisi ketua umum sebagai mandataris muktamar. Tetapi jurisprudensi atas Kiai Hasyim Muzadi menjadi tonggak untuk terus menjalankan amanah Khittah 1926.Sejak itulah Kiai Sahal terus memimpin NU. Kiai Sahal terpilih lagi menjadi Rais ‘Am pada Muktamar NU di Donohudan Surakarta (2004) dan terpilih lagi pada Muktamar NU Makassar (2010). Dalam tiga kali periode kepemimpinan tertinggi NU, Kiai Sahal telah menunjukkan bagaimana NU harus berada dalam konteks kehidupan poiitik. NU harus memainkan politik tingkat tinggi (as-siyasah as-samiyah al-’aliyah), sementara politik keseharian diserahkan kepada partai-partai politik. Warga NU yang terjun ke politik keseharian, baik sebagai eksekutif dan legislatif, diberi kebebasan untuk berkiprah di bidangnya, tetapi tidak boleh dirangkap dengan tugas-tugas keseharian di dalam NU. Tugas NU adalah seperti ketika NU didirikan oleh para masyayikh muassisun: yakni dakwah Ahlussunnah wal Jama'ah, mencerdaskan warga dan memberdayakan kehidupan mereka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adat ad-darain). NU tidak anti politik, tetapi NU jangan dijadikan tunggangan politik.Politik tingkat tinggi yang dimaksudkan adalah peran NU dalam memberi arah dalam perjalanan bangsa ini. Salah satu kontribusi NU untuk bangsa ini adalah UUD 1945 dan Pancasila, keduanya menjadi pemandu arah kemana bangsa ini akan menuju. NU berkewajiban mengawal arah itu, namun perannya tetap berada di aras masyarakat sipil. Untuk memainkan peran politik tingkat tinggi, NU harus menjadi organisasi yang kuat, mandiri mampu menghidupi diri sendiri dengan memobilisasi sumberdaya warga NU yang jumlahnya puluhan juta. Kiai Sahal selalu menekankan pentingnya kemandirian NU ini, antara lain dengan menggalang "dana abadi” organisasi. Gagasan Kiai Sahal itu sudah terwujud. Tak hanya itu, dalam berbagai kesempatan Kiai Sahal juga selalu menekankan keharusan menata aset Nahdlatul Ulama agar terkonsolidasi menjadi "kekuatan" NU.Selain itu, pengurus NU haruslah memberikan dan mengabdikan dirinya untuk NU, jangan mencari penghidupan dari NU. Suatu kali pada saat memberikan pengarahan dalam rapat gabungan Syuriyah-Tanfidziyah, Kiai Sahal hanya mengatakan beberapa kalimat saja, ”kalau mengurus NU ya mengurus NU saja.” Setelah itu Kiai Sahal terdiam dan melinangkan air mata. la telah meletakkan fondasi kokoh bagi terwujudnya NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang kuat dan mandiri.KH MA Sahal Mahfudh wafat pada Jumat, 24 Januari 2014 pukul 01.05 WIB dini hari di kediamannya, kompleks Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Mbah Sahal pulang ke rahmatullah saat masih mengemban amanah sebagai rais aam PBNU dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jenazahnya dimakamkan di kompleks makam Syekh Ahmad Mutamakkin, di Kajen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
RF | dari berbagai sumber
Posting Komentar