Panitia kecil yang dibentuk para ulama sebagai respons atas perkembangan sosial politik Islam di Hijaz (Saudi Arabia). Komite Hijaz dibentuk pada bulan Januari 1926. Panitia ini bertugas untuk merumuskan sikap para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah serta mempersiapkan pengiriman delegasi ke Muktamar lslam di Mekah yang digagas lbnu Saud, penguasa baru Hijaz, dengan menghubungi para ulama terkemuka di Jawa dan Madura. Pembentukan Komite Hijaz dilatarbelakangi oleh kemenangan lbnu Saud (penguasa Najed) atas Syarif Husen (penguasa Hijaz) pada tahun 1924 di tanah Hijaz yang mencakup Mekah dan Madinah. Kemenangan Ibnu Saud yang beraliran Wahabi membuat kecemasan di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama'ah karena mulai tersiar kabar tentang pelarangan ziarah ke makam Nabi, pembongkaran makam Nabi dan sahabat, pelanggaran kemerdekaan bermadzhab di wilayah Hijaz, dan lain-lain. Apalagi saat itu para ulama dan santri yang mukim di Haramain mulai pindah atau pulang ke negara masing-masing. Di dalam negeri juga terjadi dinamika sebagai respons atas situasi politik internasional tersebut. Para tokoh Sarekat Islam, Muhammadiyah, al-lrsyad, dan lain-lain yang tergabung dalam Kongres Islam juga mempersiapkan tim untuk berangkat ke Muktamar Islam Dunia. Namun, umumnya mereka tidak terlalu memerhatikan kegelisahan para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah. Kiai Wahab Hasbullah, atas restu K.H. Hasyim Asy'ari, kemudian berinisiatif membentuk panitia guna memperjuangkan misi mempertahankan kemerdekaan bermadzhab di tanah Hijaz. Susunan panitia yang dikenal dengan nama Komite Hijaz tersebut adalah sebagai berikut:Penasihat :
K.H. Abdul Wahaba Hsbullah
K.H. Masyhuri
K.H. Cholil Lasem
Ketua : H. Hasan Gipo
Wakil Ketua: H. Sholeh Syamil
Sekretaris : Muhammad Shodiq
Pembantu : K.H. Abdul Halim
Pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344) komite mengadakan rapat di rumah Kiai Wahab Hasbullah di Kertopaten, Surabaya. Rapat ini dihadiri oleh para ulama terkemuka seperti : K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Nawawi Pasuruan, K.H. Ridwan Semarang, K.H. Maksum Lasem, K.H. Nahrawi Malang, H. Ndoro Munthaha, K.H. Abdul Hamid Faqih Sedayu-Gresik, K.H. Abdul Halim Leuwimunding Cirebon, K.H. Ridwan Abdullah, K.H. Mas Alwi, K.H. Abdullah Ubaid Surabaya, Syaikh Ahmad Ghanaim al-Misri dari Mesir, dan lain-lain. Para ulama dalam rapat ini sepakat menunjuk K.H. Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Karena dibutuhkan adanya lembaga formal yang akan diwakili oleh delegasi, maka dibentuklah Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Nama Nahdlatul Ulama diusulkan oleh K.H. Mas Alwi. Rapat ini juga menghasilkan rumusan yang akan disampaikan langsung kepada lbnu Saud sebagai berikut:
Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermadzhab di Negeri Hijaz pada salah satu dari madzhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum'at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut di bidang tasawuf, aqaid, maupun fiqih ke dalam Negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi, dan lain-lainnya yang sudah terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat lslam yang bermadzhab sehingga umat lslam menjadi sebagai tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan. Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah, ”HanyaIah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah" dan firman-Nya “Dan siapa yang Iebih aniaya dari pada orang yang menghaIang-haIangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya." Di samping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat yang bersejarah tersebut. Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthawwif dari mulai Jeddah sampai pulang lagi ke Jeddah. Dengan demikian, orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah. Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di Negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut. KeIima, Jam'iyah Nahdlatul Ulama memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan kedua orang benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut. Pada akhirnya, K.H. Asnawi batal berangkat karena kapal yang akan ditumpangi sudah terlebih dulu berangkat ke Mekah. Kemudian, K.H. Wahab Hasbullah berinisiatif mengirim mosi ke muktamar di Mekah melalui telegram. Tidak hanya itu, NU kemudian memutuskan untuk mengirim delegasi ke Mekah untuk langsung menemui lbnu Saud dan menyampaikan hal-hal tersebut di atas. Kali ini yang menjadi delegasi adalah K.H. Wahab Hasbullah dan Syaikh Ahmad Ghanaim al-Mishri. Pada tanggal 10 Mei 1928 (20 Dzulqa’dah 1346) keduanya diterima oleh lbnu Saud dan menyampaikan aspirasi tersebut.
RF | Dari berbagai sumber
Posting Komentar