Singkatan dari Jami’yyatul Qurra wal-Huffadh Nahdlatul Ulama. Ia merupakan salah satu badan otonom NU yang beranggotakan para qari-qariah, hafidh-hafidhah, para pecinta Al-Qur’an, yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.Sebelum JQHNU sebenarnya telah berkembang komunitas-komunitas penghafal dan pecinta seni membaca Al-Qur’an di Indonesia meskipun berskala lokal. Pada abad 19, di sejumlah daerah telah muncul perkumpulan ahli qurra wal huffadh, antara lain 

1. Jam’iyyatul Huffadh di Kudus, Jawa Tengah 

2. Nahdlatul Qurro di Jombang, Jawa Timur 

3. Wihdatul Qurra di Sulawesi Selatan 

4. Persatuan Pelajar Ilmu Qira’atil Qur’an di Banjarmasin 

5. Madrasatul Qur’an di Palembang 

6. Jamiyyatul Qurra di Medan 

Setelah Indonesia merdeka, KH A Wahid Hasyim yang waktu itu menjabat sebagai menteri agama memiliki inisiatif membentuk organisasi ahli qurro wal huffadh yang sifatnya nasional. KH Wahid Hasyim sangat mendukung upaya pengembangan seni baca dan penghafalan Qur’an karena ia merupakan pecinta seni ini sekaligus seorang yang hafal Al Qur’an 30 juz. Ideanya tentang pendirian organisasi ini dicetuskan pada 17 Ramadhan 1370 H di kediamannya dalam sebuah acara buka puasa bersama sekaligus acara haul salah satu orang tuanya. Ia mengusulkan nama Jam’iyyatul Qurra wal Huffadh.Ia kemudian membentuk sebuah tim yang dipimpin oleh KH Abu Bakar Aceh untuk menyusun AD/ART, membentuk komisariat di wilayah propinsi, kabupaten dan kota besar, persiapan kongres pertama, menghubungi para ulama qurra wal huffadh dan melengkapi susunan pengurus besarSetelah bekerja mempersiapkan diri, Jam’iyyatul Qurro wal Huffadh diresmikan oleh KH Wahid Hasyim dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1371 H bertepatan dengan 15 Januari 1951 di rumah H Asmuni di Sawah Besar Jakarta.Susunan pengurus periode 1951-1953I. 

I Penasihat 

1. KH Abdul Wahab Hasbullah 

2. KH A Wahid Hasyim 

3. KH A Abdul Karim 

4. KH Djamhur  

II. Pengurus Harian (Pengurus Besar) 

1. Ketua Umum: KH Abu Bakar Aceh 

2. Ketua I: KH Darwis Amini 

3. Ketua II: KH Nazaruddin Latif 

4. Sekretaris I: Muhammad Nur 

5. Sekretaris II: KH Tb Manshur Ma’mun 

6. Bendahara I: H Asmuni 

7. Bendahara II: H Abdul Karim Martam  III. 

Anggota 

1. KH M Karim Bakri 

2. KH M Roji’un 

3. KH A Nahrawi 

4. Zainal Arifin Datuk 

5. Rd A Djawahir Dahlan 

6. Abdullah Lidi 

7. Sayyid Ubaidillah Assirry 

8. Sayyid Hasan Alaidrus 

9. KH Muhammad Saleh 

10. KH Muhammad Djunaidi  

Dengan keseriusan dan kerja keras, hanya dalam waktu satu tahun, organisasi ini telah mampu membentuk 50 wilayah dan cabang di seluruh Indonesia.Beberapa kegiatan yang dilaksanakan lembaga ini adalah mengadakan seleksi terhadap qari’ yang akan membacakan Al Qur’an di sejumlah radio di tanah air seperti di RRI Jakarta, Surabaya, Semarang dan Palembang. Mereka juga dipercaya oleh Kementerian Agama cq Lajnah Pentashih Al Qur’an untuk menjadi anggota tema Pentashih Al-Qur’an dan menyelenggarakan kursus kader qari’.Mengingat pesatnya perkembangan wilayah dan cabang, selanjutnya dilakukan kongres pada 1-6 Desember 1953 untuk melakukan penyusunan program baru dan penyegaran kepengurusan. Kongres ini dihadiri oleh 10 komisariat (wilayah) propinsi dan 86 cabang dengan keputusan 1. Organisasi dan himpunan apapaun yang bersifat dana dan usahanya sama, berfusi menjadi satu dengan ‘Jamiyyahtul Quro wal Huffadh” yang bersifat sosial pendidikan dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. 2. Memilih dan mengesahkan Pengurus Besar periode 1953-1956 3. Menetapkan lima belas orang qari’ untuk mendapat piagam dari Menteri Agama Dalam kongres tersebut terpilih ketua umum KH Tb Shaleh Ma’mun sedangkan KH Abubakar Aceh menjadi salah satu penasihatPara qari terbaik yang mendapatkan penghargaan tersebut adalah :

1. KH Utsman Fatah, Medan 

2. KH A Rasyid Siddiq, Palembang 

3. KH Yusuf Umar, Palembang 

4. KH Muh Daud Al Hafizh, Jambi 

5. KH Bustomi  Ahmad, Barabai Kalimatan Selatan 

6. KH Malwan Amin, Banjarmasin 

7. KH Abdul Rasyid Abul Hasan, Samarinda 

8. KH Muhammad Siraj, Ciamis Jawa Barat 

9. KH RA Jawahir Dahlan, Cirebon Jawa Barat 

10. KH Muhammad Arif, Serang Banten 

11. KH A Nahrawi, Jakarta 

12. KH Tb Mansur Ma’mun, Jakarta 

13. KH Abdul Karim, Gresik 

14. KH Ahmad Damanhuri, Malang 

15. KH Ahmad Baharuddin, Pasuruan 

Setelah kongres tersebut, aktivitas organisasi semakin meningkat. Konferensi di tingkat wilayah dan cabang dilakukan di daerah-daerah dengan dihadiri Pengurus Besar. Salah satu anggota Pengurus Besar juga diajak sebagai delegasi seni dan kebudayaan ke Pakistan Timur (Bangladesh), Burma dan singgah di Brunei Darussalam.Jam’iyyatul Qurra juga mengusulkan agar imam masjid di kabupaten dan kota besar diangkat dari anggotanya serta meminta agar di SD/MI dan Mts, diangkat guru negeri yang mengajarkan al Qur’an dari anggotanya. Selain itu, mendorong pengajaran Qur’an di lingkungan penjara, panti sosial, tunanetra dan lainnya.Atas prakarsa organisasi ini juga, diusulkan adanya Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), yang diawali dari MTQ antarpondok pesantren se-Indonesia dalam rangka Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung tahun 1964, yang kemudian menjadi kegiatan resmi Departemen Agama RI sejak tahun 1968 sampai sekarang serta pendirian Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 19 th 1977/151-1977.Perubahan sikap dari organisasi independen menjadi salah satu badan otonom NU terjadi pada tahun 1959, yang kemudian pada tahun 1999 berdasarkan Muktamar NU ke30 di Lirboyo Kediri statusnya berubah menjadi lembaga NU. Lima tahun kemudian, pada Muktamar NU Boyolali Solo tahun 1999, statusnya kembali menjadi badan otonom. Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) nasional sejak tahun 1968 sampai waktu yang cukup lama mengambil alih tugas JQHNU untuk melaksanakan MTQ antar-pondok pesantren. Saat itu pula, JQH bisa dikatakan “mati suri”.Lalu, pada tahun 1992, saat KH Abdurahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, JQH kembali diaktifkan. Pada tahun 1999, JQH mengadakan MTQ antar-pondok pesantren di Garut, Jawa Barat.Dalam sejarahnya, MTQ antar-pondok pesantren yang digelar JQH ini, melahirkan qari-qariah dan ulama Al-Qur’an bertaraf nasional dan internasional, seperti KH Abdul Aziz Muslim (Tegal), KH Ahmad Syahid (Bandung), KH Tb Abas Saleh Ma’mun (Banten), KH M. Yusuf Dawud (Jawa Timur), H Muammar ZA (Pemalang), Hj Maria Ulfa Lamongan, dan lain-lain.Mereka kemudian berhasil dan mencetak kader-kader bangsa, ulama yang hafal Al-Qur’an dan sanggup menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat.Pertengahan bulan Februari 2012, delegasi dari JQHNU mengukir prestasi membanggakan. Satu orang qari bernama Ja’far Hasibuan dan dan qariahnya bernama Sri Wahyuni, juara pertama pada MTQ Internasional yang diselenggarakan di Kota Qum, Iran. Pada tahun 2019, kader JQHNU bernama Salman Amrillah juga kembali mengharumkan nama Indonesia dengan meraih juara pertama pada MTQ Internasional yang diikuti perwakilan dari 84 negara pada 8-15 April di Kota Teheran, Iran.

Ketua Umum JQH dari masa ke masa 

1. KH Abu Bakar Aceh (1951 - 1959) 

2. KH Tb Abbas Sholeh Ma’mun (1959 - 1992)

3. KH Nu’man Thahir (1992 - 2002) 

4. Prof Dr KH Said Aqil Al Munawwar        (1992 - 2002) 

5. KH Muhammad Zen (2002 - 2018) 

6. KH Saifullah Ma’shum (2018-2023)  


RF | Dari Berbagai Sumber

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama