Pendidikan
Tokoh NU dan salah seorang pendiri negara Repubiik Indonesia. Anggota BPUPKI dan PPKI yang berperan aktif merumuskan Pancasiia dan UUD 1945. Putra dari Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy'ari. Ayahanda KH Abdurrahman Wahid.Lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914. Saat masih dalam kandungan, ibunya, Nyai Nafiqah bernazar akan membawa bayinya menemui Syekhona KH Cholil Bangkalan jika lahir selamat. Nazar itu dilaksanakan ketika Abdul Wahid Hasyim berusia tiga bulan. Ia dibawa oleh ibundanya yang didampingi seseorang bernama Mbah Abu.Perjalanan dari Jombang ke BangkaIan, Madura, penuh dengan rintangan namun mereka bisa melaluinya. Sesampainya di kediaman Kiai Cholil, mereka justru diperintahkan untuk tidak masuk ke rumah namun juga tidak boleh pergi. Meskipun hujan mengguyur lebat, ibunda Kiai Wahid Hasyim tidak bergeser dari tempatnya. Ketika hujan semakin lebat, ia menaruh sang bayi di beranda sambil membaca, "Lailaha illa anta, ya hayyu ya qayyum."
Sang pemilik rumah mengatakan bahwa ia tidak mengizinkan bayi itu diletakkan di beranda rumahnya dan harus dibawa kembali ke halaman rumah di tengah guyuran hujan. Ibunda Kiai Wahid Hasyim pun tidak membantahnya. Kelak Kiai Wahid Hasyim juga wafat di tengah hujan lebat. Kejadian di rumah Kiai Cholil Bangkalan itu dipercaya oleh masyarakat NU sebagai pertanda bahwa Kiai Wahid Hasyim akan menjadi ”orang besar”.Mulai usia 13 tahun, ia berkelana di berbagai pondok pesantren, di antaranya Pesantren Siwalan Panji dan Lirboyo. Sepulang dari Lirboyo, ia meneruskan belajar agama di rumahnya.Pada usia 17 tahun ia sudah mengajar di pesantren milik ayahnya.
Setahun kemudian, yaitu 1932, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sambil memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Ia berada di sana selama kurang Iebih dua tahun.Sepulang dari Makkah, Kiai Wahid Hasyim melakukan sejumlah pembaruan dan perubahan di Pesantren Tebuireng. Ia memperkenalkan pengajaran ilmu-ilmu di luar ilmu agama. Ia juga mendirikan Madrasah Nidhamiyah yang mengajarkan 79 persen ilmu agama dan 30 persen ilmu umum. Dalam pelajaran bahasa, selain materi bahasa Arab, Madrasah Nidhamiyah juga memberi pelajaran bahasa Inggris dan Belanda. Kiai Wahid bahkan mendirikan perpustakaan atau taman bacaan yang berlangganan majalah-majalah Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan sebagainya. Di masa itu, hal tersebut adalah yang pertama dilakukan di pesantren di Indonesia. Terlebih Iagi bahwa tdak hanya majalah dari NU yang diterima, namun juga majalah dari organisasi-organisasi Iain.
Selain di dunia pendidikan, Kiai Wahid Hasyim juga aktif dalam organisasi. Di NU, ia menjadi Ketua Ma'arif (1938). Sedangkan di MIAI yang beranggotakan organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, PSII, Perti, al-Irsyad, dan lain-Iain, ia menjadi ketua. MIAI kemudian berubah menjadi Masyumi dengan KH Masykur sebagai Ketua dan KH Wahid Hasyim sebagai Wakil Ketua.
Karir Politik
Di ranah poiitik, peran KH Wahid Hasyim sangat menonjol, terutama dalam penentuan fondasi dan bentuk negara bagi republik ini. Selain sebagai anggota BPUPKI, ia juga menjadi salah satu anggota Panitia Sembilan yang merumuskan rancangan dasar negara. Ia bahkan sangat berperan dalam menjembatani pertentangan kalangan Islam dan kalangan nasionalis hingga tercapai kesepakatan bersama yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sebagaimana disahkan PPKI. Rumusan ”Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” tidak terlepas dari peran Kiai Wahid Hasyim yang sebeIumnya bersedia menerima penghapusan tujuh kata tersebut.
Mengenai pendapatnya dalam pembahasan dasar negara tersebut ia menyampaikan dalam karyanya Agama dalam Indonesia Merdeka, "Demi kepentingan kesatuan ini, yang sangat kami perlukan secara mendesak dan dalam usaha untuk membangun negara Indonesia kita, di dalam pikiran kami pertanyaan yang terpenting bukanlah, ‘Di manakah akhirnya tempat Islam (di dalam negara itu)', akan tetapi pertanyaan yang terpenting ialah, ‘Dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia merdeka?'. Karena itu sekali lagi saya ulangi, yang sangat kita perlukan saat ini adalah persatuan bangsa yang tidak terpecahkan."
Setelah Indonesia merdeka, Kiai Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama selama tiga periode, yakni dalam Kabinet Hatta (1949-1950), Kabinet Natsir (1950-1951), dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Dalam kedudukannya itu ia membuat sejumlah keputusan penting yang dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang. Pertama, Ia mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1951 yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Kedua, mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama serta Pendidikan Guru Agama Negeri di bawah naungan Kementerian Agama.Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia bersama Abikusno Tjokrosujoso (PSII) dan KH Siradjuddin Abbas (Perti).
Keluarga
Sedangkan dalam kehidupan keluarganya, ia dikaruniai enam orang anak hasil pernikahannya dengan Solehah binti KH Bisri Syansuri. Putra-putri KH Wahid Hasyim adalah KH Abdurrahman Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, KH Salahuddin Wahid, dr. Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid.KH Wahid Hasyim wafat pada 19 April 1953 setelah mengalami kecelakaan mobil ketika hendak menghadiri pertemuan Partai NU se-Karesidenan Priangan. Saat itu, 18 April 1953, ia pergi bersama putra sulungnya, Abdurrahman Wahid, dan ditemani seorang sopir serta Argo Sucipto (Sekretaris PBNU). Dalam hujan lebat, mobil yang ditumpanginya terpeleset hingga tertabrak truk dari belakang. Kecelakaan ini terjadi pada pukul 10.00 WIB, namun karena lokasinya yang jauh dari keramaian Kiai Wahid Hasyim yang terluka parah baru mendapat pertolongan pada pukul 16.00. Ia meninggal keesokan harinya pada pukul 10.30 WIB.
KH Wahid Hasyim dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pondok Pesantren Tebuireng bersebelahan dengan makam ayahandanya, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari. Di pemakaman ini sekarang juga dimakamkan putra sulungnya, KH Abdurahman Wahid. Pemakaman keluarga Tebuireng ini hingga sekarang ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh pelosok negeri.Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Pergerakan Nasional kepada KH Wahid Hasyim melalui Keputusan Presiden No. 206/1964 pada 24 Agustus 1964.
Sumber : NU ONLINE
Posting Komentar